Rabu, 28 September 2016

Tarekat-Tarekat di Minangkabau abad 18-19 M

Share it Please


Hasil gambar untuk tarekat di padang
Ada satu poin penting yang menjadi perhatian saya dari tulisan Taufiq Abdullah dengan judul “Adat and Islam: An Examination of Conflict in Minangkabau”, yaitu masalah tarekat. Sebagaimana ia catatkan dalam halaman 8,  bahwa pusat keagamaan pertama yang dikenal dalam sejarah Minangkabau adalah  Ulakan, sebuah kota kecil di Pantai Barat, bagian utara Padang, dengan tokoh utamanya ialah Syekh Burhanuddin yang meninggal pada 1704, dan dikenal sebagai orang pertama yang menyebarkan Islam ke bagian pedalaman. Syekh Burhanuddin sendiri merupakan murid dari Abdurrouf Singkel dari Aceh. Ia mengambil dari gurunya yang terkenal tersebut tarekat Sattariyyah dan mengajarkannya di tanah Minang. Sehingga dapat dipastikan bahwa institusi pertama yang memainkan peranan dalam Islamisasi tanah minang adalah tarekat Sattariyyah. Apa yang saya ingin katakan bahwa untuk memahami bagaimana hubungan adat dan agama (Islam) di Tanah minang, kita tidak bisa lepas untuk membahas institusi tarekat-tarekat yang ada di sana. Karena ia menjadi representasi Islam di abad itu, yakni abad 18 dan seterusnya hingga muncul apa yang dikenal dengan perang Padri tahun 1821-1837. 

Abdurrouf Singkel, guru dari Burhanuddin, merupakan tokoh Islam melayu yang dalam catatan Azyumardi Azra berada di jajaran para perintis pembaharuan. Perintis pembaharuan ini muncul sebagai kritik terhadap praktek sufi yang ada sebelumnya di tanah melayu, yang dianggap heretical dan heterodox (menyimpang), yang digaungkan oleh Hamzah Fansuri dan Samsuddin. Gerakan Pembaharuan ini mencirikan dirinya seimbang dalam praktek sufisme dan syariat, dan membatasi diri pada ajaran-ajaran sufi yang tidak bertentangan dengan syariat Islam. Bahkan kalau kita tarik lebih dalam lagi bahwa Abdurrouf Singkel sendiri merupakan murid dari Ulama besar yang berada di Hijjaz, yaitu Ibrahim al-Kurani yang dalam pandangan Azra merupakan tokoh dari Neo Sufisme-Syariat, yaitu menekankan makna penting dari syariat tanpa perlu mengesampingkan kecintaannya kepada tasawwuf.
Dari atas jelas bahwa tarekat yang dibawa oleh Syekh Burhanuddin berada dalam arus pembaharuan Islam yang terjadi dari Timur Tengah. Syekh Burhanuddin dengan lembaga pendidikannya sejenis surau, di Ulakan menarik banyak murid untuk belajar kepadanya. Para murid mengambil keahlian dalam berbagai cabang disiplin Islam, dan pada gilirannya mendirikan suarau-suarau mereka sendiri ketika mereka kembali ke desa-desa kelahirannya. Di antara muridnya adalah Tuanku Nan Tuo. Sebagaimana murid-murid yang lain, Tuanku Nan Tuo juga kembali ke kampung halamannya dan mendirikan suarau, namun ia tidak mengikuti paham gurunya yang mengajarkan tarekat Sattariyah, tetapi justru mengembangkan paham Naqsabandiyah sampai akhir hayatnya. Selain itu, ia tidakhanya sibuk mengurusi hal-hal yang berkaitan dengan sufi, tetapi juga mulai mencurahkan perhatian pada aspek kehidupan sehari-hari menurut Syariat Islam. Surau inilah yang kemudian menjadi salah satu tempat terpenting dalam pengembangan ide gerakan pembaruan Islam gelombang pertama di Tanah Minang.
Tuanku Nan Tuo juga berada dalam arus pembaruan itu sendiri. sekalipun ia berbeda dengan paham gurunya, tetapi dalam proses pembaruannya itu ia melakukan dengan cara yang  damai dan lebih moderat. Dengan caranya ini ia berhasil dalam waktu singkat karena ia dapat merangkul para penghulu, baik dari kampungnya sendiri maupun dari kampung lain di sekitar daerah Ampek Angkek Canduan. Murid dan pengikutnya semakin banyak bahkan dari utara Agam sepertiAlahan Panjang dan Rao. Salah seorang muridnya yang terkenal mengikuti metode arus pembaruan Islam yang moderat ini adalah Syekh Jalaluddin. Ia berhasil menyebarkan gerakan pembaruan di suarau yang didirikannya di Koto Laweh, sebuah Nagari Pertanian yang terletak di lereng Gunung Merapi dan daerah yang kaya dengan produksi kopi dan akasia. Syekh Jalaluddin berusaha membangun komunitas Islam yang menjalankan rukun Islam dan syariat Islam yang sebaik-baiknya.  
Dari paparan di atas kita bisa melihat bahwa arus pembaruan itu terus berlanjut. Keberadaan Tarekat Naqsabandiyah yang kemudian dihadirkan oleh Tuanku Nan Tuo, yang berbeda dengan tarekat yang diajarkan gurunya, yaitu Syattariyah, mengindikasikan bahwa proses pembaruan Islam yang lebih ortodok terus berlanjut. Karena Tarekat Naqsabandiyah sendiri dalam ajarannya memiliki perhatian yang lebih besar pada ritual-ritual/upacara-upacara yang ortodoks. Dan pembaruan yang ada ini pun masih dalam metode yang sama yaitu damai dan moderat. Adanya arus pembaruan yang tengah menguat di dalam Tanah Minang sendiri kemudian mendapatkan momentumnya dengan kehadiran tiga orang haji dari Mekkah pada tahun 1803. Mereka adalah Haji Miskin, Haji Piobang, dan Haji Sumanik. Ketiga haji ini kemudian mengajak Tuanku Nan Renceh dari Kamang, murid Tuanku Nan Tuo, untuk bergabung dan mengubah cara pelaksanaan gerakan pembruan yang lebih radikal. Ketigannya diindikasikan terpengaruh dengan cara gerakan Wahabiyyah yang sedang menguasai tanah Hijaz, yang dalam dakwahnya tidak ragu untuk mengguanakan cara-cara kekerasan. Di sinilah titik dimana arus pembaruan yang bersifat moderat dan damai berubah dengan cara-cara yang keras yang dilakukan oleh tokoh-tokoh yang muda. Yang ingin saya sampaikan bahwa bukan melulu oleh gerakan wahabiyah saja terjadinya pembaruan itu. Tapi ia sebenarnya telah dimulai sejak masa Syekh Burhanuddin dari Ulakan, sebagai arus pembaruan yang lebih besar lagi dalam Dunia Islam melayu dalam jaringan Abdurrouf Singkel.
Abdullah, Taufiq. “Adat and Islam: An Examination of Conflict in Minangkabau” .Cornel University, 1966.
Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan VXII (Akar Pembaruan Islam Indonesia). Jakarta: Kencana, 2013.
Bruinessen, Martin van. Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat. Yogyakarta: Gading, 2015.
Ricklefs, M.C. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. terj. Satrio Wahono dkk. Jakarta: Serambi, 2005.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

About

Blogroll

About