1.
Bab 1 Bahan Mentah Untuk Antropologi
Ada dua sub bab yang
dibahas di Bab 1 ini, yaitu masalah ruang lingkup dan dasar
antropologi dan bahan tentang adat-istiadat bangsa-bangsa di luar Eropa.
Masalah Ruang Lingkup dan Dasar Antropologi. Menurut Koentjaraningrat ilmu antropologi sebagai ilmu yang
mempelajari makhluk anthropos atau manusia, merupakan suatu
integrasi dari beberapa ilmu yang masing-masing memepelajari suatu kompleks
masalah-masalah khusus mengenai makhluk manusia. Proses integrasi tadi
merupakan suatu proses perkembangan panjang yang dimulai sejak kira-kira permulaan
abad ke-19 yang lalu, dan berlangsung dampai sekarang ini juga. Integrasi itu
mulai mencapai bentuk konkret setelah lebih dari enam puluh tokoh antropologi
dari berbagai negara Ero-Amerika (termasuk ahli-ahli dari Uni Soviet) bertemu
untuk mengadakan suatu international Symposium on Anthropology dalam tahun
1951.
Integrasi yang tercapai sesudah tahun 1951 tadi sekarang telah
disadari oleh banyak ahli di berbagai negara dimana ilmu antropologi hidup; dan
hal ini tampak dari buku-buku pelajaran ilmu antropologi. Walaupun demikian,
hampir tiap negara yang menjalankan antropologi telah menyesuaikan antropologi itu dengan ideologi dan kebutuhannya sendiri-sendiri. Hal itu disebabkan karena disamping ilmu yang akademis, antropologi juga memiliki segi praktisnya. Ia juga belum mencapai stabilitas mengenai metodologi dan teorinya. Dengan demikian terdapat banyak macam ilmu antropologi di berbagai negara, yang masing-masing berbeda tidak hanya mengenai segi-segi terapan dari antropologi, akan tetapi juga mengenai segi-segi metodologi dan teorinya.
hampir tiap negara yang menjalankan antropologi telah menyesuaikan antropologi itu dengan ideologi dan kebutuhannya sendiri-sendiri. Hal itu disebabkan karena disamping ilmu yang akademis, antropologi juga memiliki segi praktisnya. Ia juga belum mencapai stabilitas mengenai metodologi dan teorinya. Dengan demikian terdapat banyak macam ilmu antropologi di berbagai negara, yang masing-masing berbeda tidak hanya mengenai segi-segi terapan dari antropologi, akan tetapi juga mengenai segi-segi metodologi dan teorinya.
Menurut Koentjaraningrat jalan terbaik mencapai integrasi umum dari
ilmu antropologi ialah untuk mempelajari apakah ilmu-ilmu yang menjadi pangkal
dari antropologi, dan bagaimanakah garis besar proses perkembangan yang mengintegrasikan
ilmu-ilmu pangkal tadi kemudian mempelajari bagaimana penerapannya di beberapa
negara yang berbeda sekali satu dengan lainnya. Pengertian mengenai batas-batas
dan azas-azas antropologi serupa itu baru akan berguna bagi kita untuk
mengetahui apakah sebenarnya arti antropologi bagi indonesia masakini, yaiti
indonesia dalam masa pembangunan sekarang ini.
Bahan tentang Adat-Istiadat Bangsa-Bangsa di
Luar Eropa. Menurut Koentjaraningrat yang sangat penting
untuk untuk perkembangan pertama dari antropologi adalah bahan keterangan
adat-istiadat dan bentuk-bentuk masyarakat suku-suku bangsa penduduk pribumi
dari Afrika, Asia, Oseania, (kepulauan-kepulauan di Laut Teduh) dan Amerika,
yang ditulis oleh orang-orang Eropa Barat ketika mereka mulai berekspansi ke
daerah-daerah lain di muka bumi.
Bahan keterangan itu terkumpul dan termuat dalam: (1) kisah-kisah
perjalanan para pelaut dan musyafir bangsa Eropa; (2) dalam laporan dan
buku-buku karangan para penyebar agama nasrani yang mulai menyebarkan agama Katolik
atau Kristen di antara bangsa-bangsa penduduk daerah-daerah di Afrika, Asia,
Oseania atau Amerika Latin segera sesudah salah satu negara Eropa memantapkan
kekuasaannya di sana; (3) dalam laporan dan karangan-karangan para pegawai dari
berbagai pemerintah jajahan negara-negara Eropa yang sejak abad ke-16 secara
lambat laum memperluas pengaruh mereka di daerah-daerah tersebut; (4) dalam
buku-buku yang ditulis oleh para peneliti alam dan para ahli ilmu bumi dari
negara-negara Eropa Barat, yang melakukan perjalanan serta ekspedisi
penjelajahan ke berbagai daerah tersebut.
Bahan-bahan keterangan tentang adat-istiadat, ciri-ciri tubuh serta
bahasa yang diucapkan oleh bangsa-bangsa di Luar Eropa disebut bahan etnografi,
yaitu “pelukisan tentang bangsa”. Sedangkan benda-benda kebudayaan berupa
alat, senjata-senjata, hasil-hasil kesenian dan kerajinan dari berbagai daerah
di dunia disebut sebgai etnografika.
2.
Bab 2 Etnografi dan Masalah Aneka Warna Manusia
Masalah
aneka warna manusia di Eropa dalam Abad ke-16. ada tiga pandangan dari orang eropa ketika melihat karangan
etnografi maupun benda-benda etnografika. (1) pandangan yang mengataka bahwa
sifat aneka warna manusia, baik ragawi maupun rohani, yang tampak dari bahan etnografi
dan etnografika itu, disebabkan karena makhluk manusia diturunkan beraneka
warna, atau karena mskhluk manusia diturunkan dari beraneka warna makhluk
induk. Pandangan ini seringkali disebut pandangan poligenesis. (2) pandangan
yang meyakini bahwa manusia diciptkan sekali, yaitu manusia adalah keturunan
dari satu makhluk induk. Pandangan ini biasa disebut dengan pandangan
monogenesis. Pandangan monogenesis ini terbagi menjadi dua. Pertama,
pandangan yang meyakini bahwa semua manusia adalah keturunan Nabi Adam. Dosa
itu harus ditebus, dan karena itu manusia mengalami kemunduran. Aneka warna
masyarakat dan kebudayaan manusia dari yang tinggi hingga yang rendah, yang
kini tampak itu, merupakan akibat dari proses kemunduran atau degenerasi. Kedua, pandangan yang meyakini bahwa
manusia tidak mengalami degenerasi, tetapi kemajuan, dan bahwa aneka-warna
masyarakat dan kebudayaan yang kini tampak itu disebabkan karena
tingkat-tingkat kemajuan yang berbeda-beda pada tiap masyarakat manusia.
Ilmu Anatomi dan Masalah Aneka-Warna Manusia. Ilmu anatomi dalam masa di antara abad ke-16 dan ke-19 merupaka
suatu ilmu yang sudah barang tentu tersangkut dalam masalah poligenesis atau
monogenesis makhluk manusia, dan karena itu juga menaruh perhatian yang besar
terhadap bahan etnografi dan etnografika itu.
Penelitian anatomi sebenarnya sudah sejak lama digunakan di kalangan
Eropa, namun penelitian anatomi ini yang sifatnya komparatif lebih intensif
terutama setelah orang-orang Eropa melihat lebih banyak aneka warna ciri fisik
manusia, dan setelah makin banyak muncul karangan yang mengandung bahan
etnografi serta laporan mengenai aneka warna ciri fisik manusia sesudah abad
ke-16.
Filsafat Sosial dan Masalah Aneka –Warna Manusia.
Para ahli filsafat sosial, yaitu para ahli
filsafat yang berfikir mengenai bentuk masyarakat yang sempurna serta tingkah
laku dan perilaku manusia yang dapat menuju ke arah tercapainya cita-cita
semacam itu, dalam zaman Aufklarung di Eropa abad ke-18 sangat dipengaruhi oleh
kemajuan dalam ilmu alam dan pasti. Mereka terutama mengagumi metodologi eksak
yang dipergunakan dalam ilmu-ilmu tersebut, yang secara induktif selalu menuju
ke arah pembentukan generalisasi-generalisasi yang mantap, dan akhirnya ke arah
perumusan kaidah-kaidah alam yang dapat dipakai oleh manusia untuk kemudian
menguasai alam itu sendiri. Oleh karena itu dalam gejala-gejala tingkah laku
dan perilaku manusia dalam kehidupan masyarakat, mereka juga mencoba mencari
unsur persamaan yang dapat dipakai sebagai azas-azas dalam analisa induktif
yang selanjutnya dapat dirumuskan sebagai kaidah-kaidah sosial. Contoh ahli
filsafat yang mencoba melaksanakan metodologi ilmiah seperti terurai ialah C.L.
de Secondat, Baron de la Brede et de Montesquieu, A.R.J Turgot, F.M.A Voltire,
W. Robertson dan lain-lain.
Filsafat Positivisme dan Masalah Aneka –Warna Manusia.
Auguste Comte adalah ahli filsafat sosial yang
paling konsekuen menerapkan metode positivisme tersebut. Comte mengajukan
pendapatnya mengenai metodologi ilmiah umum, artinya yang dapat diterapkan
terhadap semua ilmu pengetahuan yang ada. Baginya penerapan metodologi positif
terhadap gejala-gejala masyarakat menyebabkan berkembangnya aktivitas-aktivitas
ilmiah yang oleh Comte disebut ilmu sosiologi, istilah yang mulai digunakan
pertama kali, untuk mengganti aktivitas berfikir serta spekulasi mengenai
gejala-gejala masyarakat yang oleh para ahli filsafat sebelum Comte disebut
“fisika sosial”.
Masalah Aneka –Warna Bahasa. Sejak dahulu orang sudah tahu bahwa
manusia dari aneka warna asal dan bangsa itu mengucapkan beraneka warna bahasa
pula; tetapi suatu hal yang menarik perhatian para ahli kesusateraan abad 18
yang mulai mempelajari naskah-naskah kuno dalam bahasa Arab, Sansekerta, Cina
dan lain-lain adalah adanya berbagai persamaan azazi dalam bahasa-bahasa Eropa
dengan bahasa Sansekerta, bahasa klasik India, baik dipandang dari sudut bentuk
kata-katanya, maupun dari tata bahasanya. Adahal persamaan-persamaan azasi itu
tak ada antara bahasa-bahasa Eropa dan misalnya bahasa Arab dan Cina.
Penelitian komparatif terhadap bahasa-bahasa di dunia yang timbul sebab akibat
penemuan tadi menimbulkan ilmu perbandingan bahasa pertengahan abad ke-19.
Konsep Evolusi dalam Ilmu Biologi. Di sini muncul tokoh C. Darwin yang mengorbitkan karyanya yang
berjudul The Origin of Species (1859). Ia menyatakan dalam bukunya bahwa
semua bentuk hidup dan jenis makhluk yang kini ada di dunia itu, dengan
dipengaruhi oleh berbagai macam proses ilmiah, berevolusi atau berkembang
sangat lambat dari bentuk-bentuk yang sangat sederhana menjadi beberapa jenisbaru
yang kompleks. Makhluk-makhluk jenis baru itu masing-masing berevolusi juga
menjadi jenis-jenis baru yang bertambah kompleks lagi, dan demikian seterusnya
hingga dalam jangka waktu beratus-ratus juta tahun terjadilah jenis-jenis
makhluk yang paling kompleks seperti kera dan manusia. Selain C. Darwin ada
juga tokoh lain yaitu A. Wallace.
Masalah Asal-Mula dan Evolusi Manusia. Penelitian-penelitian terhadap asal-mula manusia dengan menganalisa
dan membanding-bandingkan fosil-fosil manusia zaman zaman dahulu yang
terkandung dalam lapisan-lapisan bumi di berbagai tempat, menjadi ilmu baru
yang merupakan bagian dari ilmu antropologi fisik dengan dengan sebutan ilmu
paleoantropologi. Kemudian muncul tokoh-tokoh yang mengkaji halini dari
berbagai ahli sperti C. Lyell, C. Meiners , G. Klemm dan lai sebagainya.
Lembaga-Lembaga
Antropologi yang Pertama. Perhatian para ahli anatomi, antropologi fisik,
paleoantropologi, prehistori, foklor sejarah kebudayaan, filsafat, sosiologi,
hukum dan geografi, terhadap bahan etnografi dan etnografika yang mereka
pergunakan untuk menguraikan pandangan mereka mengenai proses denegrasi,
perkembangan ataupun evolusi makhluk manusia, serta masyarakat dan
kebudayaannya, dipermudah dengan didirikannya lembaga-lembaga etnologidi Paris
dan London. Ada Lembaga Societe Etnoloque didirikan tahun 1839. Di
Amerika tahun 1842 didirikan The American Ethnological Society dan
lain-lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar