Bab 4 Teori-Teori Mengenai Azaz Religi
Tiga Pendekatan terhadap Masalah Azas Religi. Menurut Koentjaraningrat ada tida teori tentang azas dan asal-mula
religi , yaitu (1) teori-teori yang dalam pendekatannya berorientasi kepada
keyakinan religi; (2) teori-teori yang dalam pendekatannya berorientasi kepada
sikap manusia terhadap alam gaib atau Hal Yang Gaib; (3) teori-teori yang dalam pendekatannya
berorientasi kepada uapacara religi. Contoh dari tokoh-tokoh yang mempergunakan
pendekatan yang pertama antara lain A. Lang, R.R. Maret, dan A.C. Kruyt.
Seorang tokoh yang mempergunakan pendekatan kedua adalah R. Oto, sedangkan
tokoh-tokoh yang mempergunakan pendekatan ketiga adalah W. Robertson, K. Th.
Preusz, R. Herz, dan A. Van Gennep.
Teori yang
Berorientasi kepada Keyakinan Religi. Andrew Lang dalam bagian
pertama karyanya, The Making of Religion (1819) menyatakan bahwa dalam
jiwa manusia ada suatu kemampuan gaib yang dapat bekerja lebih kuat dengan
makin lemahnya aktivitas pikiran manusia yang rasional.
Karena itulah, katanya
gejala-gejala gaib itu bisa bekerja lebiih kuat pada orang-orang bersahaja yang
kurang aktif hidup dengan pikirannya, dibandingkan dengan orang Eropa misalnya,
yang lebih tergantung dalam hidupnya pada aktivitas pikiran rasionalnya. Lebih
lanjut Lang mengatakan dalam bagian kedua dari karyanya di atas, bahwa dalam
suku-suku- bangsa yang ada di dunia ini terdapat dewa tertinggi. Menurutnya
keyakinan terhdap dewa tertinggi dalam religi suku-suku bangsa ini sudah sangat
tua, dan mungkin merupakan bentuk religi manusia yang tertua, yang kemudian
terdesak ke belakang oleh keyakinan kepada makhluk-makhluk halus lain seperti
dewa-dewa alam, roh nenek-moyang, hantu dan lain-lain.
Teori Marett tentang Kekuatan Luar Biasa. Menurut marett dalam karyanya The Threshold of Reigion (1909)
bahwa proses berfikir yang mengasosiasikan suatu kekuatan yang menyebabkan
bahwa makhluk yang hidup itu dapat bergerak, dengan bayangan tentang dirinya
sendiri yang dilihatnya dalam mimpi, adalah terlalu abstrak bagi pikiran
manusia purba, yang kemampuannya pasti masih terbatas sekali. Lebih lanjut ia
mengatakan bahwa asal-mula religi manusia, yaitu bahwa pangkal religi adalah
suatu “emosi” atau suatu getaran jiwa yang timbul karena kekaguman manusia
terhadap hal-hal dan gejala-gejala tertentu yang sifatnya luar biasa.
Konsep Kruyt tentang Animisme dan Dinamisme. Menurut Kruyt manusia primitif atau manusia zaman kuno itu pada
umumnya yakin akan adanya suatu zat halus yang memberi kekuatan hidup dan gerak
kepada banyak hal di dalam alam semesta ini. Zat halus yang oleh Kruyt disebut
zielestof itu terutama ada dalam beberapa bagian tubuh manusia, binatang dan
tumbuh-tumbuhan, tetapi seringkali juga dalam benda. Keyakinan kepada zielestof
seperti itu oleh Kruyt disebut Animisme. Selain keyakinan kepada
zielestof, manusia kuno juga mempunyai keyakinan lain, yaitu kepada berbagai
macam makhluk halus yang menempati alam sekeliling tempat tinggalnya. Makhlus
halus itu banyak diantaranya merupakan penjelmaan dari jiwa orang yang telah
meninggal. Sistem keyakina akan adanya makhluk-makhluk halus tersebut oleh
Kruyt disebut Spiritisme.
Teori yang Berorientasi kepada Sikap Manusia
terhadap Hal yang Gaib. Konsep R. Otto terhadap sikap
kagum-terpesona terhadap hal yang Gaib. Menurut Otto semua sistem religi,
kepercayaan dan agama di dunia berpusat kepada suatu konsep tentang hal yang
gaib (mysterium) yang dianggap maha dahsyat (tremendum) dan keramat (sacer)
oleh manusia. Sifat dari hal yang gaib serta keramat itu adalah maha-abadi,
maha-dahsyat, maha-baik, maha adil, maha-bijaksana, tak terlihat, tak berobah,
tak terbatas, dan sebagainya. Pokoknya, sifat pada azasnya sulit dilukiskan
dengan bahasa manusia manapun juga, karena “hal yang gaib dan keramat” itu
memang memiliki sifat-sifat yang sebenarnya tak mungkin dapat dicakup oleh akal
manusia. Walaupun demikian, dalam semua masyarakat dan kebudayaan di dunia,
“hal yang gaib dan keramat” tadi, yang menimbuolkan sikap kagum-terpesona,
selalu akan menarik perhatian manusia, dan mendorong timbulnya hasrat untuk
menghayati rasa bersatu dengannya.
Teori-Teori yang Berorientasi Kepada Upacara Religi.
Dalam bagian hanya disebutkan satu tokoh saja
yang dianggap cukup mewakili, yaitu teori W. Robertson Smith Tentang Upacara
Bersaji. Robert Smith mengemukakan tiga gagasan penting yang yang menambah
pengertian kita mengenai azas-azas religi dan agama pada umumnya. Gagasan
pertama mengenai soal bahwa disamping sistem sistem keyakinan dan doktrin,
sistem upacara juga merupakan suatu perwujudan dari religi atau agama yang
memerlukan studi dan analisa yang khusus. Gagasan kedua adalah upacara religi
atau agama yang biasanya dilaksanakan oleg banyak warga masyarakat pemeluk
religi atau agama yang bersangkutan bersama-sama mempunyai fungsi sosial untuk
mengintensifkan solidaritas masyarakat. Gagasan Robertson Smith yang ketiga
adalah teorinya mengenai fungsi upacara bersaji. Pada pokoknya upacara bersaji,
dimana manusia menyajikan sebagian dari seekor binatang, terutama darahnya
kepada dewa, kemudian memakan sendiri sisa daging dan darahnya, oleh Robertson
Smith juga dianggap sebagai suatu aktivitas untuk mendorong rasa solidaritas
dengan dewa atau para dewa.
Beberapa Komponen Religi. Menurut Koentjoroningrat ada lima komponen yang dapat digunakan
dalam keperluan analisa antropologi atau sosiologi religi. Kelima komponen itu
adalah (1) emosi keagamaan. Emosi keagamaan yang menyebabkan bahwa
manusia mempunyai sikap serba religi, merupakan suatu getaran yang menggerakkan
jiwa manusia; (2) sistem keyakinan. Sistem keyakinan dalam suatu religi
berwujud pikiran dan gagasan manusia, yang menyangkut keyakinan dan konsepsi
manusia tentang sifat-sifat tuhan, tentang wujud dari alam gaib (kosmologi),
tentang terjadinya alam dan dunia (kosmogoni), tentang zaman akhirat
(esyatologi), tentang wujud dan ciri-ciri kekuatan sakti, roh nenek moyang, roh
alam, dewa-dewa, roh jahat, hantu, dan makhluk-makhluk halus lannya; (3) sistem
ritus dan upacara. Sistem ritus dan upacara dalam suatu religi berwujud
aktivitas dan tindakan manusia dalam melaksanakan kebaktiannya terhadap tuhan,
dewa-dewa, roh nenek moyang, atau makhluk halus lainnya, dan dalam usahanya
untuk berkomunikasi dengan tuhan dan penghuni dunia gaib lainnya; (4) peralatan
ritus dan upacara. Dalam ritus dan upacara biasanya dipergunakan
bermacam-macam sarana dan peralatan, seperti: tempat atau gedung pemujaan,
patung dewa, patung orang suci, alat bunyi-bunyian suci, dan para pelaku
upacara seringkali harus mengenakan pakaian yang juga dianggap mempunyai sifat
suci; (5) umat agama. Umat agama
ini bisa disebut juga dengan kesatuan sosial yang menganut sistem keyakinan dan
yang melaksanakan sistem ritus serta upacara itu.
Kerangka mengenai kelima komponen dari religi ini hanya berguna
sebagai kerangka intelektual untuk mempermudah analisa gejala religi dalam
masyarakat manusia secara antropologi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar